Rabu, 10 Desember 2008

Ambil Kepahlawananku, Benahi Kesejahteraanku

R Kunjana Rahardi

Kompas, Selasa, 25 November 2008 | 01:13 WIB

Sudah banyak diberitakan kisah-kisah guru (baca pula: dosen) yang dalam ketekunan dan kesetiaan profesinya, justru mengemban ironi-ironi besar pendidikan. Bukan saja lantaran gaji bulanan yang tidak dapat dipakai hidup layak dalam keluarga. Terasa berlebihan jika dengan gaji bulanan pas-pasan, ada guru yang dua-tiga kali makan di restoran. Atau, terasa tidak logis pula jika dengan gaji mepet, seorang guru dapat berbelanja di mal dan swalayan.

Akan tetapi, sama sekali bukan itu masalah yang dimaksud dalam refleksi Hari Guru Nasional Ke-15 tahun ini. Yang dimaksud adalah, bahwa dengan penghasilan yang diterima, guru banyak yang tidak mampu mengantarkan anaknya mengecap pendidikan sampai jenjang pendidikan wajar untuk bekal mengarungi kehidupan.

Almarhum Pater Drost (2006) pernah berseloroh lewat tulisannya di Kompas, peran orangtua dalam membimbing anaknya (sendiri) adalah sebagai pendidik utama, termasuk membimbing dalam menghadapi dunia persekolahan. Oleh karena proses pembelajaran berlangsung lewat lembaga sekolah, bimbingan nyata orangtua ialah menyiapkan anak-anak agar akhirnya masuk perguruan tinggi. Akan tetapi, bagaimana mungkin guru swasta menjalankan amanat luhur ini?

Dikotomi

Bagi guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS), mungkin jeritan hati ini sekarang sudah dipicingkan dengan sebelah mata. Sepertinya, guru berpelat merah kini sudah jauh lebih sejahtera. Guru berpelat kuning alias swasta, justru semakin menderita. Artinya pula, memang harus diakui ada dikotomi guru negeri dan guru swasta.

Jeritan refleksi ini barangkali tepat bagi guru swasta, seperti penulis sendiri yang adalah guru swasta. Rasanya guru swasta cukup dipersilakan gigit jari ketika harus mendengar kabar kenaikan gaji, rapelan gaji, kenaikan pangkat, kenaikan golongan/ruang gaji, dan semacamnya dari pemerintah. Faktanya, memang kami yang guru swasta ini benar-benar harus gigit jari dan merasa iri hati dengan mereka yang menjadi anak-anak negeri.

Padahal, jika lebih jauh direfleksi, guru swasta dan negeri pada hakikatnya hanya beda dalam nasib dan lokasi. Maksudnya, yang satu beruntung lantaran menjadi anak negeri, yang satunya terpuruk lantaran menjadi anak yayasan dan/atau perkumpulan. Bagi guru yang menjadi anak-anak yayasan, kami harus jujur mengatakan, penghasilan kami sama sekali tidak cukup untuk hidup layak sebulan.

Ironi besar

Jangankan menyekolahkan dan menguliahkan anak-anak, untuk hidup keseharian kami masih cukup kerepotan. Maka sesungguhnya adalah ironi besar jika guru yang bekerja membanting tulang dalam wahana pendidikan, kadang tidak tahu waktu lantaran pekerjaan dan tanggung jawab kependidikan, tetapi tidak mampu memberikan kesempatan pendidikan yang benar-benar wajar bagi anak-anak sendiri.

Setiap hari kami memintarkan anak-anak orang, anak-anak masyarakat, anak-anak bangsa, tetapi anak-anak kami sendiri, yang lahir dari darah daging kami sendiri, terpaksa harus terpinggirkan ketika harus menikmati pendidikan. Betapa tidak terpinggirkan jika kini kian banyak lembaga pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, jatuh berkubang dalam konglomerasi pendidikan.

Dengan semakin diimaninya konglomerasi itu, pendidikan di semua jenjang menjadi mahal. Kami bahkan ingin berteriak menegaskan, bagi kami pahlawan tanpa tanda jasa ini, kesempatan menyekolahkan dan/atau menguliahkan anak-anak sendiri, kini menjadi utopia dan impian yang kelewat besar.

Maka upaya pemerintah mengangkat martabat guru lewat implementasi Undang-Undang Guru dan Dosen, yang kemudian berimplikasi pada sertifikasi guru dan dosen, bolehlah dianggap sebagai upaya baik pemerintah yang harus diterima dengan syukur dan bangga hati. Akan tetapi, patut juga didengarkan para pejabat yang berwenang mengambil kebijakan, tunjangan profesi yang rencananya diberikan sebesar gaji pokok sesuai dengan golongan dan kepangkatan, hingga kini meninggalkan banyak tanda tanya dan keterngangaan.

Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN 2009 memang tidak berimplikasi langsung pada perbaikan kesejahteraan. Akan tetapi, tetap diharapkan bahwa hasil berdampaknya (outcomes) dari alokasi anggaran itu nantinya dirasakan dari dimensi-dimensi lainnya.

Memberikan kemudahan

Saya rasa tidak berlebihan jika kepada para guru dan dosen yang memang sah memiliki anak yang harus disekolahkan atau dikuliahkan, negara benar-benar memberikan kemudahan dalam fasilitas pembiayaan. Artinya, para guru yang setiap hari harus memeras keringat dan bersusah payah menjadikan anak-anak orang lain, anak-anak masyarakat, dan anak-anak negara, semuanya menjadi cerdas dan pintar, pemerintah menjamin pendidikan bagi anak-anak hingga jenjang pendidikan yang ditentukan.

Usulan ini saya rasa merupakan upaya menjadikan guru negeri dan swasta setara, terutama dalam memberikan kesempatan pendidikan kepada anak-anak. Tempat dan status keguruan boleh tidak sama, tetapi kesempatan memberikan pendidikan harus dipersamakan.

Artinya pula, yang satu boleh menjadi anak negara karena status kepegawaiannya yang PNS, yang satu tetap menjadi anak yayasan juga lantaran status kekaryawanannya. Namun, anak- anak harus diperlakukan sama dalam mendapatkan fasilitas dan kemudahan pendidikan.

Saya rasa inilah salah satu hal mendasar yang hendak kami teriakkan lantang sekarang. Tidak perlu lagi didengung-dengungkan sosok guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Kalaupun telanjur lagu pujian itu diciptakan dan sudah dihafal banyak kalangan, biarlah mulai sekarang semuanya berjalan natural dan tidak perlu lagi ditonjol-tonjolkan.

Bahkan jika boleh berteriak, sudahlah ambil saja kepahlawananku, tetapi mohon benar-benar benahi kesejahteraanku!

R Kunjana Rahardi Guru swasta di Yogyakarta, Penulis buku Melawan dengan Elegan: Serpihan-serpihan Kegelisahan seorang Guru di Tengah Guliran Arus Zaman

Kala Guru Seperti Buruh

Oleh Tabrani Yunis

Kompas, Selasa, 25 November 2008 | 01:11 WIB

Akhir-akhir ini, banyak muncul organisasi guru alternatif di Tanah Air. Diawali dengan munculnya Federasi Guru Independen Indonesia pada tanggal 17 Januari 2002 yang menghimpun sebanyak 20 organisasi dan forum guru dari seluruh Indonesia.

Ada pula Asosiasi Guru Nanggroe Aceh Darussalam (Asgu-NAD), Koalisi Guru Bersatu (Kobar-GB) Aceh, Ikatan Guru Honorer Indonesia (IGHI) Padang-Sumbar, Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung, Jakarta Teachers Club (JTC), Forum Aspirasi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Subang, Purwakarta, dan Sumedang.

Di samping itu juga hadir Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas) Purwokerto, Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP) Jakarta, Forum Komunikasi Guru Tangerang (FKG), Forum Guru-Guru Garut (FOGGAR), Forum Guru Tasikmalaya (FGT), Solidaritas Guru Semarang (Sogus), Forum Komunikasi Guru Kota Malang (Fokus Guru), Perhimpunan Guru Tidak Tetap (PGTTI) Kediri, Aliansi Guru Nasional Indonesia (AGNI) Jawa Timur, Perhimpunan Guru Mahardika Indonesia (PGMI) Lombok, dan Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI) Jakarta. Begitu banyak dan menjamurnya organisasi guru alternatif yang lahir di era kebebasan berserikat ini.

Fenomena ini menarik untuk disidik karena sebenarnya para guru di Indonesia telah memiliki wadah organisasi PGRI. Lalu, mengapa kemudian banyak bermunculan organisasi guru alternatif? Akankah kehadiran organisasi-organisasi guru alternatif ini menggeser fungsi PGRI? Pertanyaan-pertanyaan di atas, kiranya perlu kita jawab.

Apalagi, Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagaimana ditulis di beberapa media cetak, mengutarakan kegalauannya terhadap fenomena itu. Detik.com tanggal 14 November 2008 memberitakan bahwa JK meminta guru-guru di seluruh Indonesia tidak terpecah belah. Para guru diharap tetap bernaung di bawah organisasi PGRI. Dikatakan, jika guru terpecah-pecah, akan seperti buruh. Saat ini, para buruh bernaung pada berbagai organisasi.

Tidak beralasan

Meminta agar guru tidak mengikuti jejak para buruh Indonesia dan semua guru harus bernaung di bawah PGRI adalah sebuah kegalauan yang tidak beralasan. Ada beberapa alasan mengapa hal ini perlu disikapi. Pertama, bahwa sekarang bukan zamannya menutup pintu demokrasi. Apalagi memilih organisasi lain sebagai wadah penyaluran aspirasi tidak dilarang oleh undang-undang. Munculnya organisasi-organisasi guru alternatif sebenarnya positif dan memang harus ada di alam demokrasi.

Kedua, munculnya kegalauan Wapres terhadap gerakan guru yang menyalurkan aspirasi di luar PGRI karena pemerintah sebenarnya tidak memahami akar masalah yang dihadapi oleh para guru di Indonesia. Padahal, Wapres sendiri pada tahun 2005 pernah berjanji menyelesaikan masalah guru di Indonesia. Harian Kompas, 8 Juni 2005, memberitakan bahwa Wapres berjanji untuk mengatasi masalah guru di Indonesia dalam waktu tiga tahun. Menurut Wapres, ada tiga masalah guru yang akan diselesaikan. Pertama, masalah guru bantu. Kedua, masalah kualitas dan profesionalitas guru yang rendah. Dan yang ke tiga, soal tingkat kesejahteraan guru yang masih jauh dari garis kesejahteraan. Nah, sekarang sudah tahun 2008, mengapa masalah guru masih saja belum bisa diatasi?

Ketiga, Wapres tidak selayaknya mengatakan bahwa semua guru harus bernaung di bawah PGRI karena apa yang melatarbelakangi munculnya organisasi guru alternatif tersebut, justru sebagai jawaban lain terhadap kelemahan dan kekurangan PGRI yang tidak pernah mau diperbaiki. Keran PGRI tidak dapat dijadikan sebagai wadah saluran aspirasi lagi. Apalagi sejak dulu, PGRI tidak dipimpin oleh guru, tetapi oleh para pejabat dinas pendidikan yang memiliki kepentingan dan menggunakan PGRI sebagai kendaraan politik. Jadi, sangatlah tidak adil bila guru dilarang mencari organisasi guru alternatif untuk memperjuangkan hak dan nasib mereka.

Kiranya, bulan ini sebagai bulan lahirnya PGRI, merupakan saat yang tepat untuk merefleksi diri. Seharusnya para petinggi dan pengurus PGRI belajar memahami masalah anggotanya. Sudah saatnya juga kepengurusan PGRI diberikan kepada guru.

Keempat, kegalauan pemerintah terhadap guru juga tidak terlepas karena kelemahan pemerintah mengurus para guru. Pemerintah cenderung mendorong para guru melakukan aksi-aksi yang biasanya digunakan para buruh dalam menuntut kenaikan upah. Di Aceh misalnya, ribuan guru di Aceh Tenggara berdemonstrasi menuntut dicairkannya tunjangan fungsional guru yang tertahan selama setahun. Hal ini bukan saja masalah di Aceh, tetapi masalah guru secara nasional.

Tunjangan profesi tersendat

Darmanintyas dalam ”Resentralisasi Kebijakan Guru” (Kompas, 29/9/2007) menyebutkan bahwa pembayaran tunjangan profesi pendidik untuk guru yang masuk kuota sertifikasi tahun 2006 dan 2007 saja amat lamban. Dana tunjangan profesi pendidik yang disediakan pemerintah senilai Rp 2,8 triliun, baru sekitar Rp 600 miliar yang disalurkan kepada guru yang sudah dinyatakan lulus uji sertifikasi. Mengulur-ulur pembayaran. Konon, dana itu sudah disalurkan ke provinsi.

Nah, kalau begini caranya pemerintah mengurus guru di negeri, wajar saja sosok guru ideal sulit didapatkan. Selama ini, profesi guru selalu dituntut untuk bisa tampil ideal sebagai seorang tenaga edukasi yang profesional, yaitu guru yang menjalankan tugas mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik dengan mengikuti kode etik seorang guru.

Ketika seorang guru terpaksa menjadi tukang ojek, lalu dikatakan itu tidak layak dijalankan para guru karena memperburuk citra guru, pertanyaannya, mengapa pemerintah atau dinas pendidikan di kota dan kabupaten menyiksa guru dengan mengabaikan kesejahteraan guru?

Karenanya, berikanlah kebebasan kepada guru untuk membangun organisasi alternatif sebagai media perjuangan. Jadi, pemerintah tidak perlu memaksa semua guru harus menjadi anggota PGRI. Kalau PGRI ingin dicintai guru, PGRI harus mengubah gaya kepemimpinannya.

Kalau pemerintah ingin proses pendidikan di Indonesia bisa berjalan baik, sudah saatnya pemerintah mengurus guru secara benar. Pemerintah harus lebih serius membangun profesionalitas dan kesejahteraan guru. Bila guru dihargai dan ditingkatkan harkat dan martabatnya, akan berdampak positif bagi dunia pendidikan di negeri ini.

Tabrani Yunis Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh

Sabtu, 01 November 2008

Citra Sekolah Kejuruan dan Madrasah sebagai Sekolah Kelas Dua

Oleh: Marjohan (www.edu-articles.com)

Guru SMA Negeri 3 Batusangka

Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK.
SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran.
Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai “anak emas” dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?).
Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter “withdrawal” atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.
Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama “SMK, MAN dan SMA’. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja.
Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?).
Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja – menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?).
Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.
Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.
Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.
Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.
Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.
Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma.
Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini”. Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan.
Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa).

This entry was written by Ardiani Mustikasari,S.Si, M.Pd. and posted on July 13, 2008 at 12:24 am and filed under Artikel Lepas. Bookmark the permalink. Follow any comments here with the RSS feed for this post. Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Tips bagi Guru dalam Pemilihan Media Pembelajaran

20/08/2008
Oleh: Sudirman Siahaan (www.e-dukasi.net)

Model pembelajaran yang tertua adalah model pembelajaran yang dilaksanakan secara tatap muka oleh seseorang dengan pengetahuan tertentu kepada orang lain atau sekelompok orang. Model pembelajaran yang demikian ini masih tetap berlangsung dan dapat dijumpai hingga kini. Misalnya: di dunia persilatan atau juga di lingkungan pendidikan agama di mana seorang guru mendidik para peserta didiknya secara langsung bertatap muka. Dalam hal ini, seorang guru dapat saja membelajarkan para peserta didiknya dengan cara menyampaikan pengetahuan secara verbal terlebih dahulu dan kemudian membimbing para peserta didik melakukan praktek. Atau, seorang guru membelajarkan para peserta didiknya secara langsung dalam bentuk praktek. Pengetahuan teoritis dalam bentuk penjelasan diberikan selama atau setelah praktek. Dalam model pembelajaran yang demikian ini, guru merupakan sumber belajar utama dan satu-satunya bagi para peserta didik. Keberadaan guru sangat menentukan bagi kelangsungan kegiatan pembelajaran.

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka berbagai model pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas juga mengalami perkembangan. Seorang guru memang masih tetap merupakan salah satu sumber belajar tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didiknya. Guru menggunakan sumber belajar lain yang disebut sebagai media untuk membelajarkan peserta didiknya. Dalam kaitan ini, ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan.

Salah satu model pembelajaran adalah guru tetap berperan sebagai sumber belajar utama tetapi masih ada peran lain yang dapat didelegasikan guru pada media pembelajaran. Hal ini berarti, ada pembagian peran antara guru dan media pembelajaran. Sejauh mana pembagian peran antara guru dan media pembelajaran dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di kelas sangatlah ditentukan oleh guru. Dimungkinkan saja terjadi bahwa peran media pembelajaran itu sangat kecil, yaitu hanya sebagai pelengkap atau bahkan hanya sebagai “tempelan” di mana media baru digunakan pada saat guru membutuhkannya atau berhalangan hadir mengajar di kelas. Dalam kaitan ini, tidak ada perencanaan tentang pemanfaatan media pembelajaran.

Di sisi lain, media pembelajaran justru sangat berperan atau memainkan peranan yang dominan dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator saja dalam kegiatan pembelajaran. Alternatif lainnya adalah adanya pembagian peran yang seimbang antara guru dan media pembelajaran. Dalam keadaan yang demikian ini, pemanfaatan media pembelajaran benar-benar dilakukan secara terencana.

Sebelum memutuskan untuk memanfaatkan media dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas, hendaknya guru melakukan seleksi terhadap media pembelajaran mana yang akan digunakan untuk mendampingi dirinya dalam membelajarkan peserta didiknya. Berikut ini disajikan beberapa tips atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat digunakan guru dalam melakukan seleksi terhadap media pembelajaran yang akan digunakan.

1. Menyesuaikan Jenis Media dengan Materi Kurikulum

Sewaktu akan memilih jenis media yang akan dikembangkan atau diadakan, maka yang perlu diperhatikan adalah jenis materi pelajaran yang mana yang terdapat di dalam kurikulum yang dinilai perlu ditunjang oleh media pembelajaran. Kemudian, dilakukan telaah tentang jenis media apa yang dinilai tepat untuk menyajikan materi pelajaran yang dikehendaki tersebut. Karena salah satu prinsip umum pemilihan/pemanfaatan media adalah bahwa tidak ada satu jenis media yang cocok atau tepat untuk menyajikan semua materi pelajaran.

Sebagai contoh misalnya, pelajaran bahasa Inggris. Untuk kemampuan berbahasa mendengarkan atau menyimak (listening skill), media yang lebih tepat digunakan adalah media kaset audio. Sedangkan untuk kemampuan berbahasa menulis atau tata bahasa, maka media yang lebih tepat digunakan adalah media cetak. Sedangkan untuk mengajarkan kepada peserta didik tentang cara-cara menggunakan organs of speech untuk menuturkan kata atau kalimat (pronunciation), maka media video akan lebih tepat digunakan.

Contoh lain untuk pelajaran Biologi. Untuk mengajarkan bagaimana terjadinya proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia, maka media video dinilai lebih tepat untuk menyajikannya. Dengan menggunakan teknik animasi, maka media video dapat memperlihatkan atau memvisualisasikan proses yang tidak dapat dilihat dengan mata materi pelajaran yang berkaitan dengan proses. Melalui visualisasi yang disajikan media video, maka peserta didik akan lebih mudah memahami materi pelajaran tentang proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia. Demikian juga halnya dalam menjelaskan profil kehidupan binatang buas, maka media video merupakan jenis media yang lebih tepat untuk menyajikannya.

2. Keterjangkauan dalam Pembiayaan

Dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan anggaran yang ada. Kalau seandainya guru harus membuat sendiri media pembelajaran, maka hendaknya dipikirkan apakah ada di antara sesama guru yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan. Kalau tidak ada, maka perlu dijajagi berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan medianya jika harus dikontrakkan kepada orang lain. Namun sebelum dikontrakkan kepada orang lain, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah media pembelajaran yang dibutuhkan tersebut tidak tersedia di pasaran. Seandaianya tersedia di pasaran, apakah tidak lebih cepat, mudah dan juga murah kalau langsung membelinya daripada mengkontrakkan pembuatannya?

Pilihan lain adalah apabila kebutuhan media pembelajaran itu masih berjangka panjang sehingga masih memungkinkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pembuatan media yang dikehendaki. Dalam kaitan ini, perlu dipertimbangkan mengenai besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pengembangan media pembelajaran yang dikehendaki. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah guru yang akan dikirimkan mengikuti pelatihan tersebut masih mempunyai waktu memadai untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan sekolah. Apakah fasilitas pemanfaatannya sudah tersedia di sekolah? Kalau belum, berapa biaya pengadaan peralatannya dalam jumlah minimal misalnya.

3. Ketersediaan Perangkat Keras untuk Pemanfaatan Media Pembelajaran

Tidak ada gunanya merancang dan mengembangkan media secanggih apapun kalau tidak didukung oleh ketersediaan peralatan pemanfaatannya di kelas. Apa artinya tersedia media pembelajaran online apabila di sekolah tidak tersedia perangkat komputer dan fasilitas koneksi ke internet yang juga didukung oleh Local Area Network (LAN).

Sebaliknya, pemilihan media pembelajaran sederhana (seperti misalnya: media kaset audio) untuk dirancang dan dikembangkan akan sangat bermanfaat karena peralatan/fasilitas pemanfaatannya tersedia di sekolah atau mudah diperoleh di masyarakat. Selain itu, sumber energi yang diperlukan untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan media sederhana juga cukup mudah yaitu hanya dengan menggunakan baterai kering. Dari segi ekspertis atau keahlian/keterampilan yang dibutuhkan untuk mengembangkan media sederhana seperti media kaset audio atau transparansi misalnya tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkannya. Tidaklah juga terlalu sulit untuk mempelajari cara-cara perancangan dan pengembangan media sederhana.

4. Ketersediaan Media Pembelajaran di Pasaran

Karena promosi dan peragaan yang sangat mengagumkan/mempesona atau menjanjikan misalnya, sekolah langsung tertarik untuk membeli media pembelajaran yang ditawarkan. Namun sebelum membeli media pembelajarannya (program), sekolah harus terlebih dahulu membeli perangkat keras untuk pemanfaatannya. Setelah peralatan pemanfaatan media pembelajarannya dibeli ternyata di antara guru tidak ada atau belum tahu bagaimana cara-cara mengoperasikan peralatan pemanfaatan media pembelajaran yang akan diadakan tersebut. Di samping itu, media pembelajarannya (program) sendiri ternyata sulit didapatkan di pasaran sebab harus dipesan terlebih dahulu untuk jangka waktu tertentu.

Kemudian, dapat saja terjadi bahwa media pembelajaran yang telah dipesan dan dipelajari, kandungan materi pelajarannya sedikit sekali yang relevan dengan kebutuhan peserta didik (sangat dangkal). Sebaliknya, dapat juga terjadi bahwa materi yang dikemas di dalam media pembelajaran sangat cocok danmembantu mempermudah siswa memahami materi pelajaran. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa media pembelajaran tersebut sulit didapatkan di pasaran.

5. Kemudahan Memanfaatkan Media Pembelajaran

Aspek lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran adalah kemudahan guru atau peserta didik memanfaatkannya. Tidak akan terlalu bermanfaat apabila media pembelajaran yang dikembangkan sendiri atau yang dikontrakkan pembuatannya ternyata tidak mudah dimanfaatkan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik. Media yang dikembangkan atau dibeli tersebut hanya akan berfungsi sebagai pajangan saja di sekolah. Atau, dibutuhkan waktu yang memadai untuk melatih guru tertentu sehingga terampil untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan medianya.

Fenomena Guru dalam Mengejar Teknologi

Guru memang harus berada didepan membukakan pintu gerbang menuju masa depan anak didiknya.

Menghadapi perkembangan dunia teknologi informasi khususnya internet, seorang guru akan sangat ketinggalan bila sedikit pun beliau tidak mau minimal kenal dengan yang namanya internet. Sementara anak-anak pelajar saat ini untuk urusan internet sudah menjadi kebutuhan sehari-hari, artinya informasi yang mereka dapat sudah lebih up to date. Bila ini tidak diimbangi oleh SDM para Guru boleh jadi sekolah bagi siswa hanyalah rutinitas keharusan agar diakui sebagai anak pelajar dalam statusnya. Intinya, dengan internet tanpa sekolah pun mereka dapat ilmu pengetahuan, referensi, artikel dan sebagainya, dan tentu saja dibalik itu ada unsur yang berbau negatif di sana. Bila ini tidak segera di cermati oleh dunia pendidikan kita, bisa jadi Sekolahan hanya menjadi bangku-bangku kosong, bila ada siswa pun karena terpaksa, sebab sekolah sekarang bukannya biaya makin murah namun makin berat bagi orang tua siswa.

Dari sisi seorang Guru, dunia teknologi informasi merupakan dunia yang sullit dicerna karena keterbatasan kemampuan. Beliau-beliau ada sebelum perkembangan internet segila ini. Ditambah rutinitas sehari-hari dalam sekolah tentunya menjadi semakin sulit untuk sekedar berinteraksi melalui internet. Sementara realita-nya, dunia saat ini tidak bisa lepas dari internet.

Sungguh posisinya yang sangat sulit bagi seorang Guru pada dewasa ini. Permasalahan kurikulum yang masih belum final (selalu gonta-ganti), Gaji guru yang relatif masih rendah. Deraan ekonomi mengharuskan seorang Guru harus berfikir dua kali dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Rasanya tidak adil bila kita semua menuntut beliau-beliau untuk berlaku sebagaimana mestinya secara proporsional.

Akumulasi dari berbagai persoalan di lembaga pendidikan adalah wajar bila sekolahan dijadikan semacam industri. Yang mana sekolahan dijadikan ajang bisnis, tidak lain untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Yang pada akhirnya munculah berbagai korupsi, mark up, dan sebagainya.

Munculnya lembaga pendidikan swasta, kualitas swasta justru jauh lebih tinggi dari pada pendidikan hasil dari produk pemerintah (negeri). Ironisnya pemerintah berani mengeluarkan target minimal nilai bagi suluruh siswa. Sehingga hampir seluruh hidup siswa untuk mengejar target tersebut, pagi belajar di sekolahnya, sore harus lari ke lembaga pendidikan swasta, begitu seterusnya. Secara tidak sadar kita telah ikut menciptakan generasi nomerik tanpa menyentuh nilai-nilai luhur kemanusiaannya.
Terciptalah manusia-manusia brutalisme, terciptalah manusia tanpa budaya indonesia dan seterusnya.

Dunia Pendidikan Indonesia mulai lemah, sangat tertinggal kualitasnya dengan negara-negara tetangga. Bahkan lulusan SMA di Indonesia tidak diakui oleh beberapa negara tetangga karena memang rendahnya mutu.

Sementara kebijakan-kebijakan pendidikan indonesia selalu terkait dengan partai politik. Dunia pendidikan hanyalah isu yang dijadikan senjata partai politik dalam meraih tujuan golongannya. Tidak terpikir sedikitpun dari mereka bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan indonesia secara menyeluruh.

Sekarang sudah menjadi benang kusut yang entah dimulai dari mana untuk mengurainya. Bila kita mengharap kualitas pendidikan menjadi lebih baik, tentu sarana dan prasarana pendidikan juga harus yang memadai. Demikian pula para guru yang jelas-jelas bekerja untuk mencipta generasi bangsa kedepan, begitu sulitkah untuk mensejahterakan hidupnya mengingat kredibilitas mereka adalah bentuk kedepan indonesia.

Majulah Guru Indonesia!

Ditulis oleh :tjidro

This entry was written by Ardiani Mustikasari,S.Si, M.Pd. and posted on July 12, 2008 at 10:55 pm and filed under Tentang guru. Bookmark the permalink. Follow any comments here with the RSS feed for this post. Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Rabu, 29 Oktober 2008

Mutu Pendidikan Rendah, yang Salah Siapa?

Oleh: Ricky Ekaputra Foeh.,MM

Tidak terasa dalam bulan ini Republik-ku telah berulangtahun yang ke 63. sebuah perjalanan panjang bangsa ini, menapaki hari hari yang penuh harapan. Membangun kejayaan bangsa yang makin lama makin redup seiring perubahan yang terjadi. Kita hidup dalam dunia yang penuh perubahan. Jika kita kita mampu mengelola perubahan itu menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi kita maka dengan sendirinya kita akan tergilas didalam perubahan itu. Perubahan terjadi dimana mana, termasuk dalam dunia pendidikan kita. Dewasa ini Sumber Daya Manusia dituntut mampu berkompetisi dalam dalam dunia global. Membangun sumber daya manusia berkualitas tentu merupakan suatu tantangan tersendiri.
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia diperhadapkan dengan sangat terpuruk nya mutu pendidikan, walaupun tidak dapat kita pungkiri dilain sisi terdapat beberapa anak bangsa berhasil mencetak prestasi yang membanggakan bagi kita semua. Tentunya kita tidak dapat berpuas diri dengan hanya mengandalkan beberapa orang saja dari sekian ratus juta jiwa anak bangsa yang hidup di republik ini dalam mencetak berbagai prestasi berkaliber dunia.
Di Nusa Tenggara Timur mutu pendidikan kita sangat rendah. Hal ini ditunjukkan dengan hasil ujian nasional yang sangat terpuruk dan merosot. Masing-masing orang mulai mencari kambing hitam. Berbagai kesalahan ditimpakan kepada Guru yang tidak cakap mengajar, Siswa yang kurang belajar, Orang tua yang tidak bisa mendidik, lembaga pendidikan yang tidak mampu mengelola sebuah konsep pendidikan yang bermutu, bahkan pemerintah yang dinilai kurang cermat dalam menyusun kurikulum.
Mencermati tulisan saudara M. Hamatara (Dosen Undana Kupang) Kamis tertanggal 7 AGUSTUS 2008 dibawah judul UNAS YANG KELABU Siapa Kambing Hitam? Membuat kita seakan perlu merefleksikan diri untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada dan bukannya kecenderungan untuk saling mempersalahkan juga muncul ditengah tengah kita seperti pandangan para pengamat beberapa waktu lalu antara lain; Prof. Dr. August Benu, MS mengaku sangat kecewa atas hasil seleksi SPMB Undana hal ini menunjukkan bahwa fondasi pendidikan di NTT di tingkat bawah tidak bermutu. Lain lagi dengan pandangan saudara Lebe Laurensius (SMUN 2 Kupang) yang menambahkan, bahwa untuk mengejar mutu pendidikan, tidak hanya menjadi tanggung jawab guru di lembaga pendidikan, tetapi harus didukung kuat oleh orangtua di rumah serta komponen pendidikan lainnya. “Bermutu tidaknya pendidikan seorang siswa itu pertama terletak di tangan para orangtua, karena anak lebih banyak didampingi orangtua. Sedangkan guru dan komponen lainnya hanya beberapa saat saja. Pandangan lain yang mencuat adalah berasal pengamat pendidikan NTT Drs. John Manulangga, M.Ed berpendapat bahwa Pengelola lembaga pendidikan di NTT diharapkan jangan mendidik peserta didik hanya sekadar untuk mendapatkan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Tetapi harus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, agar output yang dihasilkan mampu bersaing di tengah masyarakat.

Mutu Pendidikan

Kesadaran akan pentingnya mutu pendidikan sungguh merupakan tantangan yang tidak ringan. Jikalau kita baru berpikir bahwa kita harus berubah, sesungguhnya kita sudah terlambat untuk itu. Oleh karenanya permasalahan ini harus segera diatasi. Mutu pendidikan yang terpuruk di negeri ini harus kita tekan. Setiap lembaga pendidikan yang ada di republik ini memiliki tanggung jawab besar terhadap mutu pendidikan yang dimulai dari proses pendidikan itu sendiri dan berakhir pada hasil pendidikan yang dicapai.
Berbicara mengenai mutu pendidikan sebenarnya kita membicarakan tentang dua sisi yang sangat penting yaitu proses dan hasil. Mutu dalam “proses pendidikan” melibatkan berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru) sarana prasarana lembaga pendidikan, dukungan administrasi, berbagai sumber daya dan upaya penciptaan suasana yang fair dan nyaman untuk belajar. Mutu dalam konteks “hasil pendidikan” mengacu pada prestasi yang dicapai oleh lembaga pendidikan pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir semester/cawu, akhir tahun, 3 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum dan ujian nasional). Dapat pula berupa prestasi di bidang lain seperti cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi lembaga pendidikan dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keramahtamahan, keakraban, saling menghormati, kebersihan, toleransi, dsb. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan satu sama lainnya, akan tetapi agar proses pendidikan dapat bermutu dan tepat sasaran, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh Lembaga Pendidikan. Lembaga Pendidikan wajib menetapkan target yang jelas untuk dicapai setiap tahun atau kurun waktu tertentu. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab lembaga pendidikan dalam memperbaiki mutu pendidikan bukan hanya pada proses pendidikan saja, melainkan lebih dari pada itu adalah pada hasil yang dicapai.
Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh lembaga pendidikan ‘ terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau “kognitif” dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya : NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap lembaga pendidikan baik yang berdasarkan titik acuan standar (benchmarking) maupun kegiatan ekstra-kurikuler dilakukan oleh individu lembaga pendidikan sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya.

Lembaga Pendidikan Unggulan

Lembaga pendidikan unggulan itu sesungguhnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga lembaga pendidikan, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan atau owner lembaga pendidikan saja melainkan melibatkan seluruh komponen didalamnnya. Berbagai komponen dalam lembaga pendidikan yang ikut bertanggung jawab dan terlibat dalam proses pendidikan antara lain kepala lembaga pendidikan, wakil kepala lembaga pendidikan, guru, konsultan ahli dan staf lainnya sehingga akan menciptakan iklim lembaga pendidikan yang mempu membentuk keunggulan lembaga pendidikan. Diperlukan adanya synergy dengan berbagai pihak antara lain lembaga pendidikan, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini. Pengelola sebuah lembaga pendidikan harus mampu memahami konsep penting pendidikan yang diluncurkan oleh pemerintah sehingga mampu menjawab tuntutan publik akan pendidikan bermutu.
Didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana kita hidup dalam dunia yang penuh dengan perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini bahwa kita perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang agar kita tidak tergilas didalamnya. Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa lembaga pendidikan harus dikelola secara profesional sehingga mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan. Institusi pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun sumber daya manusia dan menjawab harapan bangsa.
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis lembaga pendidikan ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu sedangkan tanggung jawab individu lembaga pendidikan dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus menyempurnakan dirinya sehingga berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Di Nusa Tenggara Timur terdapat beberapa lembaga pendidikan unggulan salah satu diantaranya adalah SMA Kristen Mercusuar. Tentunya banyak pihak yang bertanya dan ingin mengetahui tentang keunggulan lembaga pendidikan yang berprestasi luar biasa tersebut; SMA Kristen Mercusuar yang memiliki AKREDITASI A (Terbaik) dari Dinas Pendidikan & Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Lembaga Pendidikan ini berproses dengan mengacu dan menerapkan sepenuhnya kurikulum nasional serta menambah berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk memperluas wawasan peserta didik agar dapat berkompetisi secara global. Setiap peserta didik dibekali dengan penguasan IPTEK seperti: Manajemen informatika dan access internet yang terbuka sehingga dapat diakses kapan saja. Lembaga ini juga menerapkan Full Day School, pengawasan KBM yang ketat, pengawasan kemajuan belajar siswa oleh Pusat Informasi dan Pengendalian Mutu SMP-SMA Kristen Mercusuar secara teratur dan sistematis, & Penerapan Metode Pengajaran Moderen. SMA Kristen Mercusuar juga merupakan Sekolah Pertama dan Satu-satunya di NTT yang menerapkan Rombongan belajar per kelas 20 - 25 siswa dengan di dampingi oleh 2 (dua) orang guru dalam 1 kelas. Memasuki tahun ajaran 2008 / 2009 ini, SMP – SMA Kristen Mercusuar mulai meluncurkan program E – Learning, sebuah proses pembelajaran yang berbasis teknologi wifi-hotspot memampukan siswa mengakses bahan belajar secara baik. Kegiatan kegiatan lainnya yang tidak kalah pentingnya untuk meningkatkan kadar keimanan seluruh komponen dalam lingkup SMP - SMA KRISTEN MERCUSUAR menerapkan kegiatan kerohanian secara terpadu dalam lingkungan pendidikan berupa kegiatan ibadah bersama dan kegiatan pendalaman alkitab. Secara singkat semua upaya (proses) yang dilaksanakan secara terpadu tersebut sebagai upaya mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan para peserta didik sehingga dapat bersaing dalam kompetisi global.

Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan

Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada setiap lembaga pendidikan di Indonesia umumnya dan di Nusa Tenggara Timur khususnya, maka diperlukan partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan lembaga pendidikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan antara lain:
Lembaga Pendidikan perlu membentuk sebuah unit kerja yang bertugas melakukan penyusunan basis data dan profil lembaga pendidikan secara sistimatis yang menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan. Hal ini memudahkan bagi guru dan kepala lembaga pendidikan sehingga mereka hanya fokus pada KBM sedangkan urusan administrasi menjadi tugas dan tanggungjawab daripada Unit Informasi dan Pengendalian Mutu. Masalahnya sekarang adalah kebanyakan diberbagai lembaga pendidikan telah ada staf administrasi namun dalam jumlah yang terbatas sehingga memaksa guru dan kepala lembaga pendidikan terpaksa turun tangan menangani masalah administrasi dan keuangan. Yang lebih parah lagi adalah para kepala sekolah terlihat sangat sibuk dengan urusan administrasi dan keuangan sehingga kurang melakukan supervisi terhadap guru. Unit kerja seperti Pusat Informasi dan pengendalian Mutu bertugas melakukan evaluasi internal (internal assesment) dalam sebuah lembaga pendidikan untuk menganalisa sumber daya lembaga pendidikan, kinerja personil lembaga pendidikan dalam kerangka mengembangkan dan mencapai target kurikulum. Semua proses ini harus dipantau secara teratur dan berkesinambungan sehingga akan terasa hasilnya. Informasi yang terangkum dengan sistematis tersebut selanjutnya diteruskan pihak lembaga pendidikan sehingga dapat memahami secara jelas pada posisi mana derajat kualitas pendidikan sebuah lembaga pendidikannya berada saat ini. Para konsultan menyajikan data secara terperinci sehingga para pengambil kebijakan dilingkungan lembaga pendidikan dapat mengambil keputusan penting yang menyangkut pembangunan konsep pendidikan dan arah rencana pendidikan kedepan yang akan dicapai.
Lembaga pendidikan perlu memperhatikan secara seksama proses pendidikan sebab ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan. Sebuah lembaga pendidikan itu sifatnya dinamis dan berirama alias tidak statis oleh karenanya tidak bisa disamakan dengan institusi ekonomi dan industri. Selama ini pembangunan pendidikan kita hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan sedangkan faktor proses pendidikan kadang terabaikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka lembaga pendidikan harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan.
Kebanyakan guru-guru pada setiap lembaga pendidikan mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi hanya mengejar target untuk menyelesaikan muatan materi pembelajaran yang sangat padat itu dalam setahun. Upaya mengejar materi pelajaran ini memang sah-sah saja namun demikian kenyataan yang kita hadapi adalah kebanyakan peserta didik kesulitan dalam mengerjakan ujian akhir nasional, akibatnya prosentasi kelulusan rendah sehingga yang oleh banyak pengamat dikatakan sebagai rendahnya mutu pendidikan.
Setiap lembaga pendidikan harus memiliki otonomi dan kewenangan untuk mengevaluasi sejauhmana kemampuan yang dimiliki peserta didik. Kewenangan tegas untuk tidak membiarkan (let go) peserta didik yang tidak sanggup mengikuti pelajaran dikelas berikutnya perlu diterapkan sehingga siswa yang berada pada level berikutnya adalah benar-benar seorang peserta didik yang sanggup untuk mencerna pengetahuan dan mengakses informasi. Kegagalan sekolah selama ini adalah menaikkan peserta didik yang sebenarnya harus ‘tahan kelas’ ke kelas berikutnya. Ini adalah kekeliruan yang dibuat oleh lembaga pendidikan, padahal sebuah lembaga pendidikan memiliki otoritas untuk menahan peserta didik yang tidak mampu sehingga memberinya kesempatan belajar dan memperbaiki diri agar kedepan prestasinya dapat meningkat.

11 Asumsi Pendidik Akan Diberlakukan dengan Hormat

Diambil dari Akhmad Sudradjat.wordpress.com

Terkait dengan upaya profesionalisme pendidik di Indonesia, Sudarwan Danim (2006) mengemukakan sebelas asumsi yang harus dipenuhi jika para pendidik benar-benar hendak ditempatkan sebagai sebuah profesi yang terhormat. Kesebelas asumsi tersebut adalah:

  1. Secara relatif mereka dibayar lebih baik daripada apa yang mereka dapatkan sekarang di manapun mereka dipekerjakan.
  2. Mereka mempunyai pilihan untuk mengaktualkan kemampuan profesionalnya dengan bekerja secara memandu sendiri.
  3. Mereka mempunyai peluang untuk menyuarakan secara lebih besar mengenai peran dalam tugas mereka.
  4. Adanya kejelasan mengenai alur puncak karier yang tersedia bagi mereka
  5. Mereka mengawasi peran mereka sendiri
  6. Mereka mebuat keputusan tentang siswa pada level unit kerja mereka.
  7. Mereka memiliki rencana pembayaran jasa yang dibedakan antara guru yang mampu dan yang kurang mampu.
  8. Aktualisasi diri dalam kerangka membangun relasi dengan yang lain.
  9. Pemberian tanggung jawab dan tambahan kesejahteraan dalam aneka bentuknya.
  10. Lingkungan memberikan suplai di mana disiplin tidak lagi menjadi fokus utama perilaku guru.
  11. Adanya perlindungan kebebasan akademik bagi guru. Guru yang tidak kompeten tidak diberi peluang untuk memnuntut hak lebih banyak dan mereka tidak perlu dibela oleh organisasi.

Senin, 27 Oktober 2008

Strategi Pengembangan Pembelajaran Berbasis TIK

Oleh: Kwarta Adimphrana (www.e-dukasi.net)

Indonesia sebagai negara berpopulasi tertinggi ke-4 tentunya memiliki tantangan yang nyaris yang sama dengan negara China dan India. Problem kesehatan dan pendidikan selalu dijadikan parameter untuk mengukur kesejahteraan rakyat di suatu Negara. Indonesia dengan populasi 247 juta dimana diantaranya terdapat 51 juta siswa dan 2,7 juta guru di lebih dari 293.000 sekolah, serta 300.000 dosen di lebih dari 2.700 perguruan tinggi yang tersebar di 17.508 pulau, 33 provinsi, 461 kabupaten/kota, 5.263 Kecamatan, dan 62.806 desa. Tentunya juga memiliki tantangan khusus di bidang pendidikan.
Beberapa tantangan diantaranya adalah: masih banyaknya anak usia sekolah yang belum dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun: angka partisipasi anak berusia sekolah 7-12 tahun untuk bersekolah masih dibawah 80% (APK SMP 85,22 dan APK SMA 52,2). Tantangan berikutnya adalah (1) tidak meratanya penyebaran sarana dan prasarana pendidikan/sekolah (sebagai contoh: tidak semua sekolah memiliki saluran telepon, apalagi koneksi internet): Kota vs Desa/Daerah Terpencil/Daerah Perbatasan, Indonesia Barat vs Indonesia Timur. (2) Tidak seragamnya dan masih rendahnya mutu pendidikan di setiap jenjang sekolah yang ditandai dengan tingkat kelulusan UN yang masih rendah, demikian pula nilai UN yang diperoleh siswa. (3) Rendahnya kualitas kompetensi tenaga pengajar, dimana dari jumlah guru yang ada 2.692.217, ternyata yang memenuhi persyaratan (tersertifikasi) hanya 727.381 orang atau baru 27% dari total jumlah guru di Indonesia. Dan yang tidak kalah penting adalah (4) rendahnya tingkat pemanfaatan TIK di sekolah yang telah memiliki fasilitas TIK (utilitas rendah), disisi lain tidak semua sekolah mempunyai sarana TIK yang memadai.
Pada kesempatan ini pula perlu sama-sama kita luruskan kembali bahwa TIK bukan hanya komputer dan internetnya, TIK juga melingkupi media informasi seperti radio dan televisi serta media komunikasi seperti telepon maupun telepon seluler dengan SMS, MMS, Music Player, Video Player, Kamera Foto Digital, dan Kamera Video Digital-nya serta e-Book Reader-nya. Jadi banyak media alternatif yang dapat dipilih oleh pengajar untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan berkesan. TIK yang termanfaatkan dengan baik dan tepat di dalam pendidikan akan: memperluas kesempatan belajar, meningkatkan efisiensi, meningkatkan kualitas belajar, meningkatkan kualitas mengajar, memfasilitasi pembentukan keterampilan, mendorong belajar sepanjang hayat berkelanjutan, meningkatkan perencanaan kebijakan dan manajemen, serta mengurangi kesenjangan digital.

Pemanfaatan TIK
Menurut pemanfaatannya, TIK di dalam pendidikan dapat dikategorisasikan menjadi 4 (empat) kelompok manfaat.
§ Pertama, TIK sebagai Gudang Ilmu Pengetahuan, di kelompok ini TIK dimanfaatkan sebagai sebagai Referensi Ilmu Pengetahuan Terkini, Manajemen Pengetahuan, Jaringan Pakar Beragam Bidang Ilmu, Jaringan Antar Institusi Pendidikan, Pusat Pengembangan Materi Ajar, Wahana Pengembangan Kurikulum, dan Komunitas Perbandingan Standar Kompetensi.
§ Kedua, TIK sebagai Alat bantu Pembelajaran, di dalam kelompok ini sekurang-kurangnya ada 3 fungsi TIK yang dapat dimanfaatkan sehari-hari di dalam proses belajar-mengajar, yaitu (1) TIK sebagai alat bantu guru yang meliputi: Animasi Peristiwa, Alat Uji Siswa, Sumber Referensi Ajar, Evaluasi Kinerja Siswa, Simulasi Kasus, Alat Peraga Visual, dan Media Komunikasi Antar Guru. Kemudian (2) TIK sebagai Alat Bantu Interaksi Guru-Siswa yang meliputi: Komunikasi Guru-Siswa, Kolaborasi Kelompok Studi, dan Manajemen Kelas Terpadu. Sedangkan (3) TIK sebagai Alat Bantu Siswa meliputi: Buku Interaktif , Belajar Mandiri, Latihan Soal, Media Illustrasi, Simulasi Pelajaran, Alat Karya Siswa, dan media Komunikasi Antar Siswa.
§ Ketiga, TIK sebagai Fasilitas Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK dapat dimanfaatkan sebagai: Perpustakaan Elektronik, Kelas Virtual, Aplikasi Multimedia, Kelas Teater Multimedia, Kelas Jarak Jauh, Papan Elektronik Sekolah, Alat Ajar Multi-Intelejensia, Pojok Internet, dan Komunikasi Kolaborasi Kooperasi (Intranet Sekolah). dan
§ Keempat, TIK sebagai Infrastruktur Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK kita temukan dukungan teknis dan aplikatif untuk pembelajaran – baik dalam skala menengah maupun luas – yang meliputi: Ragam Teknologi Kanal Distribusi, Ragam Aplikasi dan Perangkat Lunak, Bahasa Pemrograman, Sistem Basis Data, Komputer Personal, Alat-Alat Digital, Sistem Operasi, Sistem Jaringan dan Komunikasi Data, dan Infrastruktur Teknologi Informasi (Media Transmisi).
Berangkat dari optimalisasi pemanfaatan TIK untuk pembelajaran tersebut kita berharap hal ini akan memberi sumbangsih besar dalam peningkatan kualitas SDM Indonesia yang cerdas dan kompetitif melalui pembangunan masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society). Masyarakat yang tangguh karena memiliki kecakapan: (1) ICT and media literacy skills), (2) critical thinking skills, (3) problem-solving skills, (4) effective communication skills, dan (5) collaborative skills yang diperlukan untuk mengatasi setiap permasalahan dan tantangan hidupnya.

Peran Guru & Siswa
Di dalam proses belajar-mengajar tentunya ada subjek dan objek yang berperan secara aktif, dinamik dan interaktif di dalam ruang belajar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru & Siswa sama-sama dituntut untuk membuat suasana belajar dan proses transfer of knowledge–nya berjalan menyenangkan serta tidak membosankan. Oleh karena itu penataan peran Guru & Siswa di dalam kelas yang mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran perlu dipahami dan dimainkan dengan sebaik-baiknya.
Kini di era pendidikan berbasis TIK, peran Guru tidak hanya sebagai pengajar semata namun sekaligus menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar bagi Siswa. Karenanya Guru dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada siswa untuk mengalami peristiwa belajar. Dengan peran Guru sebagaimana dimaksud, maka peran Siswa pun mengalami perubahan, dari partisipan pasif menjadi partisipan aktif yang banyak menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/keterampilan serta berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli. Disisi lain Siswa juga dapat belajar secara individu, sebagaimana halnya juga kolaboratif dengan siswa lain.
Untuk mendukung proses integrasi TIK di dalam pembelajaran, maka Manajemen Sekolah, Guru dan Siswa harus memahami 9 (sembilan) prinsip integrasi TIK dalam pembelajaran yang terdiri atas prinsip-prinsip:
1. Aktif: memungkinkan siswa dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna.
2. Konstruktif: memungkinkan siswa dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang selama ini ada dalam benaknya.
3. Kolaboratif: memungkinkan siswa dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya.
4. Antusiastik: memungkinkan siswa dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
5. Dialogis: memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana siswa memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun luar sekolah.
6. Kontekstual: memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world) melalui pendekatan ”problem-based atau case-based learning”
7. Reflektif: memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. (Jonassen (1995), dikutip oleh Norton et al (2001)).
8. Multisensory: memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik (dePorter et al, 2000).
9. High order thinking skills training: memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.) serta secara tidak langsung juga meningkatkan ”ICT & media literacy” (Fryer, 2001).

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka bukti otentik terjadinya pembelajaran berbasis TIK dapat kita cermati dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun dan implementasinya yang dilaksanakan oleh setiap guru mata pelajaran di sekolah. RPP yang mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran dapat disusun melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan idealis dan pendekatan pragmatis. Pertama, Pendekatan Idealis dapat dimulai dengan menentukan topik, kemudian menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai; dan menentukan aktifitas pembelajaran dengan memanfaatkan TIK (seperti modul, LKS, program audio, VCD/DVD, CD-ROM, bahan belajar on-line di internet, atau alat komunikasi sinkronous dan asinkronous lainnya) yang relevan untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Kedua, Pendekatan Pragmatis dapat diawali dengan mengidentifikasi TIK (seperti buku, modul, LKS, program audio, VCD/DVD, CD-ROM, bahan belajar on-line di internet, atau alat komunikasi sinkronous dan asinkronous lainnya) yang ada atau mungkin bisa dilakukan atau digunakan, kemudian memilih topik-topik apa yang bisa didukung oleh keberadaan TIK tersebut, dan diakhiri dengan merencanakan strategi pembelajaran yang relevan untuk mencapai kompetensi dasar dan indikator capaian hasil belajar dari topik pelajaran tersebut.
Adapun strategi yang dapat dipilih sesuai dengan kedua pendekatan tersebut adalah strategi: Resources-based learning (pembelajaran berbasis sumber daya), Case/problem-based learning (pembelajaran berbasis permasalahan/kasus sehari-hari), Simulation-based learning (pembelajaran berbasis simulasi), dan Colaborative-based learning (pembelajaran berbasis kolaborasi).


Peran TVE & Jardiknas
Sebagaimana kita ketahui bersama, tantangan terbesar negara kita dalam mencerdaskan bangsa adalah akses setiap masyarakat Indonesia ke sumber-sumber pengetahuan dan informasi pendidikan. Oleh karena itulah Depdiknas berupaya menjawab tantangan tersebut dengan inisiatif yang penuh inovasi melalui penyelenggaraan siaran TV Edukasi yang diresmikan pada tahun 2004 ini merupakan televisi yang mengkhususkan pada siaran pendidikan, termasuk program pembelajaran. Kemudian pada tahun 2006, Depdiknas menggelar Jardiknas (Jejaring Pendidikan Nasional) yang merupakan jaringan TIK nasional terbesar yang dimanfaatkan oleh Depdiknas untuk keperluan komunikasi data administrasi, konten pembelajaran, serta informasi dan kebijakan pendidikan.
TVE yang kini telah memiliki saluran 2 untuk Guru ini memiliki pola siaran: Informasi yang berisikan materi: News, Pola siaran yang berisikan Kebijakan, Profil Guru, dan sebagainya; Tutorial (Pendidikan Formal) yang berisikan materi: pembelajaran berdasarkan kurikulum Program SD, SMP, SMA, SMK, PJJ S-1 PGSD konsorsium dan Program S1 PGSD Non Konsorsium; dan Pengayaan yang berisikan materi: pengkayaan dan materi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi Guru.
Sedangkan Jardiknas saat ini memiliki 1.072 node (simpul) Zona Kantor dan Perguruan Tinggi yang tersebar di 33 provinsi dan 456 kabupaten/kota. Jardiknas yang berpusat di NOC Pustekkom Ciputat Banten dan NOC Telkom Karet Jakarta ini difasilitasi bandwidth intranet, internet domestik dan internet internasional yang cukup memadai untuk mendukung e-administrasi dan e-pembelajaran di Indonesia. Dalam waktu dekat – dalam rangka memenuhi Inpres nomor 5 tahun 2008 – Depdiknas akan mengembangkan Jardiknas Zona Sekolah untuk 15.000 sekolah dan Jardiknas Zona Perorangan untuk 7.943 tenaga pengajar yang memiliki laptop. Media koneksi Jardiknas Zona Sekolah berorientasi static internet (fixed), sedangkan Jardiknas Zona Perorangan berorientasi kepada mobile internet.

Konten
Kita memahami bahwa infrastruktur semegah apapun tidak akan berarti sama sekali jika tiada konten bermanfaat di dalamnya. Setiap hari pengguna internet berselancar di dunia maya hanya untuk mencari konten yang benar-benar diinginkannya secara instan. Baik didorong oleh rasa keingintahuan terhadap suatu fenomena maupun sekedar membuktikan sebuah informasi. Demikian halnya konten pendidikan yang disajikan melalui TVE maupun disediakan melalui Jardiknas. Beberapa konten e-learning yang selama ini cukup mendukung pembelajaran berbasis TIK adalah: Bimbingan Belajar Online, Bank Soal Online, Uji Kompetensi Online, Smart School, Telekolaborasi, Digital Library, Research Network, dan Video Conference PJJ.
Salah satu konten yang cukup menyita perhatian publik akhir-akhir ini adalah program buku murah yang dikemas di dalam aplikasi Buku Sekolah Elektronik (BS) yang dapat diakses melalui: bse.depdiknas.go.id. BSE merupakan langkah reformasi di bidang perbukuan dimana Depdiknas telah membeli Hak Cipta buku-buku teks pelajaran SD, SMP, SMA, dan SMK tersebut. Softcopy buku-buku teks pelajaran tersebut didistribusikan melalui web BSE agar guru atau masyarakat dapat mengakses, mengunduh, mencetak, mendistribusikan, atau menjualnya sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi) dimana saja dan kapan saja. Selain BSE versi Online yang dapat diakses melalui internet, Depdiknas juga telah menyediakan dan mendistribusikan BSE versi Offline yang dikemas di dalam cakram padat DVD.
Demikian strategi pengembangan pembelajaran berbasis TIK yang terus-menerus dikembangkan dan didukung oleh Depdiknas melalui sejumlah inisiatif dan inovasi di bidang teknologi pembelajaran, teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Kita dapat berharap suatu saat nanti TVE dan Jardiknas dapat menjadi Pusat Konten Pembelajaran yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja melalui koneksi Kabel, Nirkabel & Satelit.

Tips Bagi Guru dalam Pemilihan Media Pembelajaran

Oleh: Sudirman Siahaan (www.e-dukasi.net)

Model pembelajaran yang tertua adalah model pembelajaran yang dilaksanakan secara tatap muka oleh seseorang dengan pengetahuan tertentu kepada orang lain atau sekelompok orang. Model pembelajaran yang demikian ini masih tetap berlangsung dan dapat dijumpai hingga kini. Misalnya: di dunia persilatan atau juga di lingkungan pendidikan agama di mana seorang guru mendidik para peserta didiknya secara langsung bertatap muka. Dalam hal ini, seorang guru dapat saja membelajarkan para peserta didiknya dengan cara menyampaikan pengetahuan secara verbal terlebih dahulu dan kemudian membimbing para peserta didik melakukan praktek. Atau, seorang guru membelajarkan para peserta didiknya secara langsung dalam bentuk praktek. Pengetahuan teoritis dalam bentuk penjelasan diberikan selama atau setelah praktek. Dalam model pembelajaran yang demikian ini, guru merupakan sumber belajar utama dan satu-satunya bagi para peserta didik. Keberadaan guru sangat menentukan bagi kelangsungan kegiatan pembelajaran.

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka berbagai model pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas juga mengalami perkembangan. Seorang guru memang masih tetap merupakan salah satu sumber belajar tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didiknya. Guru menggunakan sumber belajar lain yang disebut sebagai media untuk membelajarkan peserta didiknya. Dalam kaitan ini, ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan.

Salah satu model pembelajaran adalah guru tetap berperan sebagai sumber belajar utama tetapi masih ada peran lain yang dapat didelegasikan guru pada media pembelajaran. Hal ini berarti, ada pembagian peran antara guru dan media pembelajaran. Sejauh mana pembagian peran antara guru dan media pembelajaran dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di kelas sangatlah ditentukan oleh guru. Dimungkinkan saja terjadi bahwa peran media pembelajaran itu sangat kecil, yaitu hanya sebagai pelengkap atau bahkan hanya sebagai “tempelan” di mana media baru digunakan pada saat guru membutuhkannya atau berhalangan hadir mengajar di kelas. Dalam kaitan ini, tidak ada perencanaan tentang pemanfaatan media pembelajaran.

Di sisi lain, media pembelajaran justru sangat berperan atau memainkan peranan yang dominan dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator saja dalam kegiatan pembelajaran. Alternatif lainnya adalah adanya pembagian peran yang seimbang antara guru dan media pembelajaran. Dalam keadaan yang demikian ini, pemanfaatan media pembelajaran benar-benar dilakukan secara terencana.

Sebelum memutuskan untuk memanfaatkan media dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas, hendaknya guru melakukan seleksi terhadap media pembelajaran mana yang akan digunakan untuk mendampingi dirinya dalam membelajarkan peserta didiknya. Berikut ini disajikan beberapa tips atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat digunakan guru dalam melakukan seleksi terhadap media pembelajaran yang akan digunakan.

1. Menyesuaikan Jenis Media dengan Materi Kurikulum

Sewaktu akan memilih jenis media yang akan dikembangkan atau diadakan, maka yang perlu diperhatikan adalah jenis materi pelajaran yang mana yang terdapat di dalam kurikulum yang dinilai perlu ditunjang oleh media pembelajaran. Kemudian, dilakukan telaah tentang jenis media apa yang dinilai tepat untuk menyajikan materi pelajaran yang dikehendaki tersebut. Karena salah satu prinsip umum pemilihan/pemanfaatan media adalah bahwa tidak ada satu jenis media yang cocok atau tepat untuk menyajikan semua materi pelajaran.

Sebagai contoh misalnya, pelajaran bahasa Inggris. Untuk kemampuan berbahasa mendengarkan atau menyimak (listening skill), media yang lebih tepat digunakan adalah media kaset audio. Sedangkan untuk kemampuan berbahasa menulis atau tata bahasa, maka media yang lebih tepat digunakan adalah media cetak. Sedangkan untuk mengajarkan kepada peserta didik tentang cara-cara menggunakan organs of speech untuk menuturkan kata atau kalimat (pronunciation), maka media video akan lebih tepat digunakan.

Contoh lain untuk pelajaran Biologi. Untuk mengajarkan bagaimana terjadinya proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia, maka media video dinilai lebih tepat untuk menyajikannya. Dengan menggunakan teknik animasi, maka media video dapat memperlihatkan atau memvisualisasikan proses yang tidak dapat dilihat dengan mata materi pelajaran yang berkaitan dengan proses. Melalui visualisasi yang disajikan media video, maka peserta didik akan lebih mudah memahami materi pelajaran tentang proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia. Demikian juga halnya dalam menjelaskan profil kehidupan binatang buas, maka media video merupakan jenis media yang lebih tepat untuk menyajikannya.

2. Keterjangkauan dalam Pembiayaan

Dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan anggaran yang ada. Kalau seandainya guru harus membuat sendiri media pembelajaran, maka hendaknya dipikirkan apakah ada di antara sesama guru yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan. Kalau tidak ada, maka perlu dijajagi berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan medianya jika harus dikontrakkan kepada orang lain. Namun sebelum dikontrakkan kepada orang lain, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah media pembelajaran yang dibutuhkan tersebut tidak tersedia di pasaran. Seandaianya tersedia di pasaran, apakah tidak lebih cepat, mudah dan juga murah kalau langsung membelinya daripada mengkontrakkan pembuatannya?

Pilihan lain adalah apabila kebutuhan media pembelajaran itu masih berjangka panjang sehingga masih memungkinkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pembuatan media yang dikehendaki. Dalam kaitan ini, perlu dipertimbangkan mengenai besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pengembangan media pembelajaran yang dikehendaki. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah guru yang akan dikirimkan mengikuti pelatihan tersebut masih mempunyai waktu memadai untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan sekolah. Apakah fasilitas pemanfaatannya sudah tersedia di sekolah? Kalau belum, berapa biaya pengadaan peralatannya dalam jumlah minimal misalnya.

3. Ketersediaan Perangkat Keras untuk Pemanfaatan Media Pembelajaran

Tidak ada gunanya merancang dan mengembangkan media secanggih apapun kalau tidak didukung oleh ketersediaan peralatan pemanfaatannya di kelas. Apa artinya tersedia media pembelajaran online apabila di sekolah tidak tersedia perangkat komputer dan fasilitas koneksi ke internet yang juga didukung oleh Local Area Network (LAN).

Sebaliknya, pemilihan media pembelajaran sederhana (seperti misalnya: media kaset audio) untuk dirancang dan dikembangkan akan sangat bermanfaat karena peralatan/fasilitas pemanfaatannya tersedia di sekolah atau mudah diperoleh di masyarakat. Selain itu, sumber energi yang diperlukan untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan media sederhana juga cukup mudah yaitu hanya dengan menggunakan baterai kering. Dari segi ekspertis atau keahlian/keterampilan yang dibutuhkan untuk mengembangkan media sederhana seperti media kaset audio atau transparansi misalnya tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkannya. Tidaklah juga terlalu sulit untuk mempelajari cara-cara perancangan dan pengembangan media sederhana.

4. Ketersediaan Media Pembelajaran di Pasaran

Karena promosi dan peragaan yang sangat mengagumkan/mempesona atau menjanjikan misalnya, sekolah langsung tertarik untuk membeli media pembelajaran yang ditawarkan. Namun sebelum membeli media pembelajarannya (program), sekolah harus terlebih dahulu membeli perangkat keras untuk pemanfaatannya. Setelah peralatan pemanfaatan media pembelajarannya dibeli ternyata di antara guru tidak ada atau belum tahu bagaimana cara-cara mengoperasikan peralatan pemanfaatan media pembelajaran yang akan diadakan tersebut. Di samping itu, media pembelajarannya (program) sendiri ternyata sulit didapatkan di pasaran sebab harus dipesan terlebih dahulu untuk jangka waktu tertentu.

Kemudian, dapat saja terjadi bahwa media pembelajaran yang telah dipesan dan dipelajari, kandungan materi pelajarannya sedikit sekali yang relevan dengan kebutuhan peserta didik (sangat dangkal). Sebaliknya, dapat juga terjadi bahwa materi yang dikemas di dalam media pembelajaran sangat cocok danmembantu mempermudah siswa memahami materi pelajaran. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa media pembelajaran tersebut sulit didapatkan di pasaran.

5. Kemudahan Memanfaatkan Media Pembelajaran

Aspek lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran adalah kemudahan guru atau peserta didik memanfaatkannya. Tidak akan terlalu bermanfaat apabila media pembelajaran yang dikembangkan sendiri atau yang dikontrakkan pembuatannya ternyata tidak mudah dimanfaatkan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik. Media yang dikembangkan atau dibeli tersebut hanya akan berfungsi sebagai pajangan saja di sekolah. Atau, dibutuhkan waktu yang memadai untuk melatih guru tertentu sehingga terampil untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan medianya.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Guru Honorer Diabaikan. Gaji Rendah, Masa Depan Tak Jelas

Selasa, 21 Oktober 2008 | 00:59 WIB

Jakarta, Kompas - Sedikitnya 50.000 guru honorer di sekolah negeri, yang tidak digaji dari APBN dan APBD, kini nasibnya terkatung-katung. Para guru honorer ini mendesak pemerintah agar mereka diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil seperti guru honorer lainnya yang digaji pemerintah pusat dan daerah.

Sementara itu, guru swasta mendesak pemerintah supaya menetapkan aturan soal penggajian guru yang besarnya minimal sama dengan upah minimum provinsi atau kota/kabupaten (UMP/UMK) dan tunjangan jaminan sosial tenaga kerja. Pemerintah juga diminta memperbaiki kondisi kerja guru swasta dan honorer dengan memberikan subsidi gaji dan menghapuskan sistem kerja kontrak.

Desakan ratusan guru swasta dan honorer di sekolah negeri yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia itu terungkap dalam pertemuan dengan Komisi X DPR di Jakarta, Senin (20/10). Para guru yang mengadu ke DPR itu tergabung dalam Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia (FTHSNI) dan Forum Guru Independen Indonesia (FGII).

Ani Agustina, Ketua Umum FTHSNI, mengatakan, ada sebanyak 150.000 tenaga honorer di sekolah negeri, di antaranya 50.000 orang adalah guru honorer, sedangkan lainnya tenaga nonguru.

Belum bisa fokus

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno mengatakan, rapat kerja gabungan beberapa komisi di DPR untuk membahas nasib guru honorer ini belum bisa dilakukan secara maksimal. DPR saat ini masih fokus untuk membahas penggunaan alokasi dana APBN bersama pemerintah.

Suparman, Ketua Umum FGII, mengatakan, jika pemerintah tidak mendiskriminasikan guru swasta dan honorer yang punya beban kerja dan tanggung jawab sama dengan guru PNS, sebenarnya tuntutan untuk menjadi pegawai pemerintah tidak lagi segencar saat ini. ”Memperbaiki kesejahteraan guru sebagai salah satu bagian dari perbaikan kondisi kerja guru akan berdampak pada perbaikan kondisi belajar siswa,” kata dia.

Yanti Sriyulianti, Wakil Sekretaris Jenderal FGII, menyebutkan, subsidi tunjangan fungsional guru non-PNS yang diharapkan dari pemerintah supaya gaji guru swasta setara UMP/UMK dan Jamsostek senilai Rp 15,8 triliun.

Dede Hermana, Koordinator Forum Guru Swasta Jawa Barat, mengatakan, dalam pelaksanaan sertifikasi guru, pemerintah menerapkan kebijakan diskriminatif yang menetapkan kuota guru swasta yang terbatas, yakni hanya 10 persen untuk guru swasta tiap tahunnya.

Di Slawi, Jawa Tengah, ratusan guru sekolah swasta dari taman kanak-kanak hingga SLTA yang tergabung dalam Forum Guru Sekolah Swasta atau Forgusta Kabupaten Tegal berunjuk rasa di halaman kantor DPRD Kabupaten Tegal. Mereka menuntut kenaikan tunjangan kesejahteraan serta menuntut diangkat sebagai calon PNS. (ELN/WIE)

Pendidikan Bermutu di tengah Pentas Budaya Instan

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Zaman sudah berubah. Semua orang maunya serba cepat. Jadinya, cenderung mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara dengan etos kerja rendah seperti Indonesia. Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke setiap kehidupan kita. Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Mau ngobrol dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs. Mau transaksi —transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa— tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone. Bagi cewek-cewek yang ingin rambut panjang tidak perlu harus menunggu sampai berbulan-bulan. Cukup tunggu ½ jam saja dengan teknik hair extension, rambut bisa panjang sesuai keinginan.

Maklum, orang makin sibuk. Malas direpotkan dengan hal-hal ribet. Maunya serba instan. Salahkah itu?, selama masih mengikuti hukum alam, serba instan itu sah-sah saja. “Hidup yang baik dan sukses adalah hidup yang sesuai dengan proses alam”. Sampai level tertentu teknologi bisa kita pakai untuk mempercepat hal-hal yang bisa dipercepat sesuai hukum alam. Kemajuan teknologi dan tuntutan zaman, memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat. Tetapi tidak asal cepat. Kualitas harus tetap terjaga. “Padi 100 hari baru panen itu bagus”. Tapi ingat itu ada yang bisa dipercepat. Mestinya, hasilnya harus lebih baik. Jadi, cepat, baik dan bermutu harus berlangsung bersama.



Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tak mau melewati proses. Alias malas. Yang penting cepat !. Bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Berorientasi hanya pada hasil. Proses tidak penting. Parahnya, “virus” itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan. Jadilah, banyak orang korupsi, punya gelar palsu, beli skripsi, ijazah aspal, asal lulus, cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kalau memang berat, membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu? Kalau ada cara cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dicoba?. Lebih lanjut, sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain.

Pendidikan Cenderung Dibisniskan.

Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.

Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Bahkan ada beberapa PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Tantangan Lulusan Sarjana di Era Informasi.

Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru juga nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi Perguruan Tinggi untuk menjaring calon mahasiswa sama "gencarnya" dengan peningkatan pengangguran lulusan. Di sisi lain, perlu diajukan pertanyaan, kualifikasi apakah sebenarnya yang disyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan sarjana Perguruan Tinggi ini ?

Jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi akademik. Tetapi pencari tenaga kerja tidak pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa besar spesialisasi mereka mengharapkan suatu program studi di Perguruan Tinggi. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan prediksi para pengelola Perguruan Tinggi daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari tenaga kerja tersebut adalah dalam hal kualifikasi lulusan Perguruan Tinggi yang mereka syaratkan.

Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dalam prakteknya, kualifikasi yang dinyatakan sebagai "paling dicari" oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang "paling menentukan" diterima atau tidaknya seorang lulusan sarjana dalam suatu pekerjaan.

Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan. Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan.

Di sisi lain, reputasi institusi Pendidikan Tinggi yang antara lain diukur dengan status akreditasi program studi sama sekali tidak termasuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan sarjana oleh para pencari tenaga kerja.

Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja "mengabaikan" bidang studi lulusan sarjana Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah bank di Cirebon menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima atau tidaknya seorang lulusan Perguruan Tinggi. Misalnya, posisi sebagai kasir bank menuntut kecepatan, kecekatan, dan ketepatan. Maka, lulusan sarnaja dengan kualitas ini punya peluang besar untuk diterima meskipun latar belakang bidang pendidikannya tidak sesuai. Kepala HRD itu mengatakan, "Saya pernah menerima Sarjana Pertanian dari Bogor sebagai kasir di bank kami dan menolak Sarjana Ekonomi manajemen dari Bandung yang IPK-nya sangat bagus."

Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan oleh pengelola Perguruan Tinggi untuk mengatasi tidak nyambung-nya antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses pengolahan kompetensi dasar tersebut. Untuk itu semua, kerja sama Perguruan Tinggi dan dunia kerja adalah perlu.




___________
Tata Sutabri S.Kom, MM -- Deputy Chairman of STMIK INTI INDONESIA, Pemerhati Dunia Pendidikan TI, Jl. Arjuna Utara No.35 – Duri Kepa Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510 Telp. 5654969, e-mail : tata.sutabri@inti.ac.id

Mendidik Sesuai Talenta Anak

Upacara penutupan Paralympic Games XII atau Olimpiade Penyandang Cacat di Athena, Yunani, digetarkan oleh atraksi luar biasa dari kelompok penari Negeri Tirai Bambu, Disabled People Performing Art, dalam pentas bertajuk ”My Dreams-from Olympia to Forbidden City”. Pentas spektakuler ini mengusung sebuah tarian Thousand-Hand Bodhisattva.

Pertunjukan ini menggambarkan Guan Yin (Kuan In) Seribu Tangan yang suci dan selalu welas asih memberkati seluruh umat manusia. Sebanyak 21 penari membentuk barisan sejajar dan menggerakkan tangan secara selaras membentuk helaian sayap merak sebagai harmoni keindahan.

Tampak dari depan, seolah Sang Dewi sedang menggerakkan ribuan tangannya dengan serasi dan indah. Pertunjukan semakin mencengangkan dan mengharukan manakala semua pemainnya merupakan penyandang tunarungu dan tunawicara. Kekaguman semakin memuncak ketika tanpa disangka, sembilan pemain di antaranya adalah pria. Dengan postur tubuh, ukuran tangan, dan kelembutan gerakan mereka luruh dalam kesatuan harmoni musik khas China. Dengan didampingi empat instruktur, mereka mampu memainkan gerakan rumit yang tetap kompak dan memesona.

Menggali keunikan talenta

Dari pertunjukan tersebut, sebenarnya kita diajak melihat core value dari keberhasilan sebuah proses pendidikan. Semua pemain pertunjukan tersebut merupakan orang yang memiliki sisi kekurangan dan kelemahan. Bahkan, di kalangan masyarakat luas telah terjadi stigmatisasi kelemahan permanen bagi mereka. Namun dengan segala kelemahan yang mereka miliki, seorang instruktur mampu membalikkan genotipe kelemahan menjadi talenta yang terpoles mengilap.

Butuh waktu untuk berproses dalam alur pembelajaran ini. Apalagi secara manusiawi, penyandang tunarungu akan kesulitan untuk mengikuti alunan ritme musik. Selain adanya proses belajar, para instruktur pertunjukan itu telah memperagakan bukan hanya proses pembelajaran, tetapi sekaligus proses pendidikan.

Ada dua hal penting dalam proses pembelajaran dari pendidikan ini, yaitu kepercayaan para instruktur bahwa anak didiknya memiliki talenta di antara sisi kelemahannya dan ketulusan hati para penari untuk percaya kepada instrukturnya. Alhasil, saat pertunjukan, para penari tidak hanya mampu membawakan keluwesan dan kekompakan gerakan. Namun lebih dari itu, dari senyum dan raut muka mereka tampak sebuah ketulusan untuk memberikan yang terbaik kepada para penonton.

Mereka tidak memahami keselarasan irama musik yang mengalun, tetapi tetap mempersembahkannya dengan tulus. Mereka tidak mampu menikmati keutuhan hasil karya mereka, tetapi tetap percaya dan tulus memberi yang terbaik. Satu saja gerakan yang tidak dilakukan dengan tulus akan mampu membuyarkan kekompakan seluruh penampilan mereka.

Tidak ada siswa yang bodoh

Herber Spencer pernah memberikan sebuah petuah bijak, ”The great aim education is not knowledge but action”. Kata-kata itulah yang selama ini menjadi jargon pendidikan yang justru sering terlupakan.

Sistem pendidikan kita sebenarnya telah mengacu pada rintisan petuah Spencer. Namun implementasi di lapangan, banyak kebijakan yang justru melenceng dari naluri dasar pendidikan.

Banyak cara mendidik kita selama ini sekadar memberikan materi pelajaran tanpa mampu mengolah ketulusan hati seorang siswa. Pada akhirnya, siswa hanya sebuah celengan yang selalu dijejali ”kepingan” materi pelajaran belaka tanpa mampu berempati terhadap situasi di sekelilingnya.

Bagi seorang guru, modal utama dalam mendidik adalah kepercayaan bahwa para siswa yang dihadapinya bukan seorang pribadi bodoh tanpa kemampuan. Meskipun mereka memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan, para pendidik seharusnya percaya bahwa ada talenta luar biasa di antara sisi kelemahan tersebut.

Selama ini kita telah dibiasakan memberi nilai siswa dari angka nol, yang berarti kita beranggapan bahwa siswa tidak bermodal apa pun saat mengerjakan soal tes. Mengapa kita tidak mengubah cara menilai dari angka seratus?

Kita seharusnya menganggap bahwa para siswa telah memiliki bekal kemampuan sehingga kesalahan menjawab soal tes digunakan untuk mengurangi angka seratus. Tanggung jawab seorang pendidik bukan hanya transfer ilmu secara masa bodoh, tetapi juga harus mampu menggali dan memoles keunikan talenta siswa yang tersembunyi.

Dengan bermodal kepercayaan terhadap sisi kemampuan siswa, seorang pendidik diharapkan telah mampu menyelami diri siswa secara cura personalis. Berbekal pendekatan pribadi inilah kita seharusnya mampu menggantungkan harapan penuh terhadap para pendidik. Kenyataan selama ini, kita sulit menemukan siswa dengan kepribadian tulus.

Para siswa dianggap cakap dalam kapasitasnya sebagai pelajar dengan kriteria mampu menguasai materi ajar. Semakin banyak materi pelajaran yang dikuasai, maka akan muncul anggapan siswa tersebut semakin pandai. Padahal, menurut Howard Gardner, ada multiple intelligences dalam setiap pribadi. Tidak hanya menguasai materi pelajaran, tetapi mampu memunculkan aksi untuk berekspresi dan menjalin relasi dengan orang lain, serta peka terhadap situasi sosialnya.

Semakin melonjaknya jumlah koruptor di negeri ini merupakan bukti kurang optimalnya proses pendidikan anak bangsa selama ini. Proses pendidikan kita baru sebatas memunculkan angka dan eksekusi lulus atau tidak lulus. Pendidikan kita belum mampu memberi waktu luang bagi para guru untuk membangun karakter ketulusan siswa. Para pendidik akhirnya tidak mampu berbuat lebih untuk menyentuh dimensi hati para siswa karena tuntutan spasial project kurikulum pemerintah.

Sebatas mentransfer

Dari sisi para siswa, tampak bahwa tidak ada lagi ”kepercayaan” terhadap gurunya. Para guru telah memiliki habits sebatas mentransfer materi pelajaran tanpa berkebiasaan merefleksikannya dalam kehidupan siswa setiap hari.

Tidak akan ada waktu lagi untuk menggali nilai hidup dan sekadar 10 menit di akhir pelajaran untuk bersama berefleksi terhadap materi pelajaran hari itu. Kebisaan inilah yang tidak lagi memunculkan rasa sungkan siswa terhadap guru, apalagi menjadikan guru sebagai suri teladan kehidupannya.

Saat ini, tidak ada beda antara guru dan CD multimedia pembelajaran. Bahkan lebih manjur dan mengasyikkan CD pembelajaran dalam menyampaikan pelajaran dibandingkan dengan seorang guru.

Hati tulus yang terbentuk dari proses pendidikan kita semakin jauh dari angan. Akhirnya akan sulit menemukan seorang pelajar dengan bekal ilmunya secara tulus mau memberi dan bersimpati terhadap lingkungannya.

Mendekatkan sistem pendidikan dengan pengolahan kepribadian dan mengubah cara pandang terhadap kelemahan siswa mutlak diperlukan untuk menanggulangi krisis ketulusan bangsa ini.

”Cacat tubuh bukan kekurangan, melainkan satu keistimewaan dalam perbedaan yang ada di antara umat manusia. Cacat tubuh bukan ketidakberuntungan, ia tidak lebih hanyalah ketidakpraktisan” (Tai Li Hua, pemimpin tarian Thousand- Hand Bodhisattva yang juga tunarungu dan tunawicara).

R Arifin Nugroho Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta
Kompas, Senin, 20 Oktober 2008 | 00:57 WIB